Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, Sritex, diumumkan gagal berutang karena memiliki utang yang sangat besar.
Hal ini dimulai ketika salah satu kreditur mengajukan gugatan dan kemudian gugatan itu dipenuhi.
Sebabnya, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu, tidak mampu melunasi utang yang jumlahnya tak terhitung banyaknya.
Pendapatan perusahaan berkurang. Beberapa tahun terakhir perusahaan selalu mengalami kerugian.
Pada akhirnya, perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.669 karyawan.
Pertanyaannya, berapa jumlah utang Sritex saat perusahaan tersebut terancam kebangkrutan?
Pendapatan yang kurang stabil selama beberapa tahun terakhir membuat perusahaan mengalami kesulitan untuk membayar utang yang jumlahnya sangat besar.

Menurut Kompas.com, perusahaan harus menanggung utang sebesar 1,597 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 25 triliun (kurs Rp 15.600).
Jumlah utang tersebut melebihi aset yang dimiliki Sritex, yaitu hanya 617,33 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,65 triliun.
Jadi, jumlah aset Sritex tidak sebanding dengan jumlah utang perusahaan.
Keadaan ini semakin memburuk dengan penjualan yang menurun.
Menurut Laporan Keuangan Konsolidasi Interim 30 Juni 2024 yang diterbitkan di situs resmi perusahaan, operasional Sritex mengalami kesulitan, karena beban yang lebih berat dibandingkan dengan total penjualannya.
Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan hanya bisa mencatatkan penjualan sebesar 131,73 juta dolar AS pada semester I 2024, mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023 yang mencapai 166,9 juta dolar AS.
Di pihak lain, beban penjualannya mencapai 150,24 juta dollar AS. Pada paruh pertama tahun 2024, Sritex hampir mencatat kerugian sebesar 25,73 juta dollar AS atau setara dengan Rp 402,66 miliar.
Kerugian yang dialami Sritex tidak hanya terjadi pada tahun 2024 saja.
Pada tahun 2023, Sritex juga mengalami kerugian yang sangat besar yaitu 174,84 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,73 triliun.
Bahkan pada masa pandemi Covid-19, perusahaan mengalami kerugian sangat besar.
Menurut Laporan Tahunan Sritex pada 2023, perusahaan mengalami kerugian sebesar 391,56 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,12 triliun pada tahun 2022.
Kerugian yang dialami Sritex pada 2022 bahkan lebih besar, yaitu sebesar 1,07 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 16,81 triliun apabila menggunakan nilai tukar dollar saat ini. Lalu pada tahun 2021, Sritex mencatat kerugian sebesar 1,06 miliar dollar AS.
Pada tahun 2020, Sritex mencatatkan laba sebesar 85,33 juta dolar AS. Menurut laporan tahunan Sritex, aset perusahaan terus menurun dari tahun ke tahun.
Pada bulan Juni 2024, nilai aset perusahaan mencapai 617 juta dollar AS. Nilai aset Sritex ini mengalami penurunan dibandingkan dengan nilai pada tahun 2023, yaitu 648 juta dollar AS.
Pada tahun 2022, aset Sritex mencapai nilai lebih dari $764,55 juta.
Pada tahun 2021, nilai aset Sritex melebihi 1 miliar dolar AS, yaitu sekitar 1,23 miliar dolar AS.
Pada tahun 2021, aset ini juga mengalami penurunan dibandingkan dengan aset Sritex pada tahun 2020 yang mencapai 1,85 miliar dolar Amerika Serikat.
Setelah dinyatakan bangkrut, Sritex Group beserta beberapa anak perusahaannya harus menjual semua aset perusahaan yang tersisa, untuk melunasi semua kewajiban perusahaan kepada para kreditur.
Beberapa entitas yang dinyatakan pailit antara lain PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Mandirijaya Boyolali, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Bitratex Industries Semarang.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam perkara Sritex pailit pekerja yang bekerja untuk debitur dapat memutuskan hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikan dengan mengindahkan jangka waktu.
)
lainnya di
, dan